Bertawakal Kepada Allah SWT
AlhijazIndowisata.com – Dalam menjalani kehidupan sejatinya tidaklah perlu keluh kesah, sedih dan kecewa ketika tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Keinginan yang tidak terpenuhi bisa jadi menunjukkan bahwa apa yang kita inginkan itu jelek buat kita. Sebagai orang yang memiliki keyakinan penuh (haqqul yaqin) terhadapa Allah yang mengetahui dan mengatur berjalannya semesta maka sepatutanyalah kita menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah baik lahir maupun batin.
Maksudnya, secara lahir kita berislam dengan menjalani semua perintah dan menjauhi larangan-Nya sedangkan secara batin kita berserah diri dengan semua ketentuan atau taqdir-Nya. Dengan keyakinan dan pemahaman seperti ini diharapkan segala bentuk kekecewaan ataupun keluh kesah dapat kita hindari dan menyerahkan semua pengaturan hidup hanya kepada Allah dapat menjadikan hidup kita tenang dan bahagia.
Namun demikian, bentuk kepasrahan kita bukan dalam arti diam dan bermalas-malasan justru perbuatan seperti ini menunjukkan rapuhnya keyaqinan seseorang akan Allah sebagai pengatur alam. Maksudnya adalah salah satu bentuk keyaqinan dan taqdir Allah yang tidak dapat kita tolak adalah bahwa Allah telah memberikan kita mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, akal/hati untuk memahami serta tangan dan kaki untuk memegang dan melangkah.
Semua anugrah badaniah tersebut tidak lain dimaksudkan agar berusaha dan bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan badaniah kita. Mengabaikan semua fungsi lahiriah tersebut sama dengan mengingkari hak-hak badaniyah kita yang telah dianugrahkan Allah yang berarti juga kufur nikmat. Dengan kata lain, di samping Allah memerintahkan kita untuk beribadah, Allah juga menyuruh kita berusaha/bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari meskipun etikanya kita diharuskan menyerahkan segala urusan kepada-Nya karena Allah memang yang lebih dan paling mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dan kebaikan kita daripada diri kta sendiri.
Hal ini telah difirmankan dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 112 yang berbunyi sebaga berikut:
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati ”.
Ayatt ini menunjukkan bentuk kepasrahan diri yang sebenarnya yaitu; menyerahkan sepenuhnya hasil amal/perbuatan kepada Allah dan tetap berbuat baik. Ayat ini menegasakan bahwa yang dimaksud berserah diri bukanlah duduk diam dan bermalas-malasan tapi tetap harus dengan usaha yang sebaik-baiknya dan dalam usaha dan hasilnya kita serahkan pengaturannya kepada Allah. Dengan menyerahkan semua pengaturan hidup kita kepada Allah berrati kita sudah memposisikan diri sebagai hamba yang tunduk dan patuh serta ridha terhadap segala keputusan-Nya sebagaimana tujuan awal kita diciptakan.
Mengenai adab/etika berserah diri ini, Syaikh Ibnu Athaillah menggambarkan dengan cukup jelas dalam bait-bait Hikam-nya, yaitu; “ Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu adalah bukti dari rabunnya mata batinmu”. Karena itu, “ Istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu karena segalanya telah di urus oleh SELAINMU (ALLAH), tak perlu engakau turut mengurusnya”. Lagi pula, “ Menggebunya semangat tak akan mampu mengoyak benteng taqdir”. Maksudnya seberapa banyak energi yang kita keluarkan untuk mencapai keinginan tetap tidak akan terpenuhi jika tidak sesuai dengan keputusan atau taqdir Allah.
Ucapan Ibnu Athaillah ini coba mengingatkan kita tuk kembali akan kesejatian kita sebagai Hamba Allah yang mungkin sedang lalai. Karena dalam hidup kita seringkali tidak mengetahui hakekat dari sebuah usaha yang kita lakukan. Apa yang kita sangka baik ternyata bisa membawa keburukan sebaliknya apa yang menurut kita buruk ternyata malah mendatangkan kebaikan bagi kita. Bisa jadi ada keuntungan dibalik kesulitan dan boleh jadi ada kesulitan atau kerugian dibalik keuntungan. Mana yang bermanfaat dan berbahaya pada akhirnya berada diluar pengetahuan kita.
Oleh karena itu, sibuk mengurus kepentingan diri merupakan perbuatan yang sia-sia apalagi kesibukan ini lantas melalaikan kewajiban kita sebagai hamba Allah. Adalah aneh jika manusia masih sibuk dan berhasrat lebih bagi kepentingan dirinya. Keanehannya terletak pada bahwa di satu sisi, ia hakekatnya tidak mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya, sedangkan di sisi lain, ia mengetahui jika Allah maha mengetahui apa yang terbaik buat mahluknya tapi masih meyibukan diri dengan kepentingannya sehingga lupa kewajiban terhadap Tuhannya.
Berserah diri sepenuhnya kepada Allah adalah jalan terbaik dalam menjalani kehidupan agar hidup kita tidak sia-sia dan selalu merasa dirundung derita. Berserah di sini bukan dalam arti hidup pasif malah harus akif lahir batin agar kita selalu bersama Allah dalam setiap tindakan kita. Kalau sudah berserah dan bersama Allah dalam amal kita maka tidak ada yang perlu dikhawatrikan dan disedihkan lagi.
Setidaknya dengan sikap menyerahkan setiap upaya lahir dan batin kita kepada Allah maka kita akan memperoleh keuntungan-keuntungan berikut ini:
Pertama, ketidakrisauan akan hilangnya rizki dalam kehidupan. Sikap ini sangatlah penting dengan cara hanya bergantung kepada Allah dan tidak merasa takut/khawatir akan jaminan rizkinya baik sedikit atau banyak bahkan sedikitnya rizki dapat merupakan anugrah karena banyaknya rizki mungkin membahayakan dan melalaikan dirinya kepada Allah yang bisa juga berarti beratnya hisab di akherat. Dengan sikap ini perasaan-perasaan akan hidup menderita, sakit dan kecewa akan hilang karena tekanan-tekanan yang menghimpit hati telah hilang pula dengan berserah diri dan bukankah ketenangan hidup itu diperlukan pula untuk meraih beragam kesuksesan.
Kedua, ketidaktergantungan pada amal atau usaha. Merasa yaqin betul akan kekuatan sendiri seringkali membuat orang kecewa dan frustasi jika ternyata usahanya tersebut tidak berhasil atau gagal. Tidak jarang kegagalan melahirkan depresi dan putus asa bahkan bunuh diri. Orang yang hanya menggantungkan pada kekuatan dan usaha sendiri lebih sering kecewa dibandingkan dengan orang yang berserah diri dan menggantungkan hidupnya hanya kepada Allah. Dengan meyakini akan ilmu dan taqdir Allah selalu yang terbaik, seseorang akan senatiasa sabar dan tenang terhadap setiap usahanya bahkan dipenuhi rasa syukur kepada Allah. Bukankah syukur ini merupakan buah atau hakekat dari sabar.
Ketiga, keridhaan pada kenyataan. Ada falsafah hidup yang mengatakan bahwa hidup itu adalah kenyataan sekarang dan di sini, bukan di masa lalu atau di masa yang akan datang. Dengan sikap ridha/rela terhadap keadaan dan peristiwa yang menimpa kita sebagai wujud dari taqdir dan keagungan Allah maka tidaklah perlu mengenang masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Dengan menyerahkan sepenuhya urusan hidup hanya kepada Allah berarti kita hanya perlu menghadapi dan menerima dengan sikap ridha dan pasrah karena dalam sikap ridha dan pasrah ini terkandung makna kekuatan batin yang hebat. Dia akan berjalan seperti matahari yang menyinari hidup tanpa peduli apakah ia besok akan terbit lagi atau tidak atau seperti bulan yang indah tanpa terpengaruh awan apakah membuatnya buruk rupa atau tidak, ia tetap indah.
Seperti itulah selayaknya kita sebagai hamba ALLAH SWT. Kita hidup mengikuti irama alam yang sudah ditaqdirkan Tuhan sesuai dengan ketentuan edarnya. Bahkan manusia lebih hebat lagi karena ia diberi keunggulan untuk memahami posisi dirinya sebagai hamba dan sebagai khalifah Tuhan di bumi. Sebagai hamba dia wajib patuh dan pasrah dan sebagai khalifah ia harus terus berusaha dan berbuat baik kepada alam dan manusia. Wallahu a’lam Bisshowab. (Lutfi Syarqawi Zain)